Percakapan tengah malam dengan Mas "fismur ugm"
![]() |
bikin banyak kesalahan biar belajar, tapi kalo dah banyak salah ga dapet apa-apa itu ketololan |
Bulan Juli 2024 ini aku buka dengan obrolan tengah malam penuh nostalgia bersama seseorang dari masa lalu. Terakhir kita ngobrol di 2023 dan sekarang 2024, hampir setahun tidak ada yang tahu keadaan masing-masing. Kali ini aku sengaja membuka obrolan dengannya karena butuh penyegaran kepala dari rutinitas dan lingkungan yang itu-itu aja. Bisa dibilang orang-orang yang aku temui memiliki pola pemikiran yang seragam, tidak ada yang beda apalagi unik, kebanyakan dari mereka juga senang di zona abu-abu, atau barangkali mereka memilih diam disitu untuk meminimalkan pertikaian. Maksudku sebenarnya bisa jadi mereka tahu hitam dan putih namun memilih diam demi kedamaian bersama.
Juni kemarin sudah aku isi dengan kegiatan cut off seseorang yang kadang aku pikir ini seharusnya aku jauhin sebelum akhirnya aku pisah dengan seseorang yang pernah jadi tambatan hati. Bahkan masih aku ingat, pria itu berkata "Si A gabisa dipercaya, mending jangan kamu dengerin apa kata dia atau kurang-kurangi cerita ke dia."
Ketika berada diantara dua pilihan antara memilih temanku dan dia yang terkasih ini, ku putuskan memilih teman yang pada akhirnya agak aku sesali mengingat betapa "ember bocor" nya dia. Satu dua kesalahan masih bisa aku tolerir, sampai akhirnya dia menjadikan curhatan traumaku sebagai bercandaan di ruang publik, sepertinya kali ini benar-benar mending sudah saja, sambil menyesal dan mengingat apa yang pernah diucapkan pria itu di masa lampau.
Pemutusan hubungan memang tidak pernah meninggalkan perasaan ringan begitu saja, pasti ada sedikit berat dan bimbang mempertanyakan keputusan sendiri apakah sudah benar atau belum. Lalu berakhirlah pada sebuah pesan yang aku tujukan pada "Mas Fismur UGM" ini.
Sebenarnya pencarianku bukan untuk mendapatkan validasi, melainkan pembelajaran. Tetapi percakapan hampir sebagian besar dipenuhi dengan validasi yang dia berikan atas keputusanku. Tak heran juga kalau kita dulu pernah dekat wkwk.
Ada dua hal yang berkesan dari obrolan ini:
1. Analogi tekanan di permukaan dan laut dalam untuk perumpaan mengelola emosi
Di bulan Juni kemarin, benar-benar menjadi ujian bagi amarahku. Beragam ujian menimbulkan reaksi yang berbeda pula. Mulai dari hanya bisa diam, lalu menangis di sepanjang jalan bahkan sampai di ATM BSI saat hendak tarik tunai juga masih nangis, dan yang terakhir marah meledak hingga tremor. Pengalaman yang sangat unik tapi juga tidak terlalu baru.
Apalagi kalau mengingat pengalamanku menggores-gores meja pria itu kala emosi memuncak. Pada saat itu konfliknya adalah aku tidak terima ia bandingkan dengan rekan kantor yang lain yang lebih alim, sementara aku lebih sekuler. Di situasi itu juga aku sebenarnya tidak benar-benar tahu apakah triger nya benar karena label sekuler atau ada yang lain. Namun seiring berjalannya waktu dan membawa pada ujung dari hubungan kami, kutemukan bahwa sebenarnya ada kecemburuan dan iri sedari awal yang tidak ingin kuakuin dan sulit ku utarakan, terlebih pada saat itu dia juga bilang "dulu sebelum ada kamu aku berteman baik dengan dia, sekarang setelah ada kamu rasanya kok jadi sulit ya?". Perasaan iri karena aku pun juga ingin tertawa santai dengannya, namun hubungan back street sialan ini bikin seolah-olah kami bermusuhan (well, akhirnya musuhan beneran wkwk)
Kini emosi itu kembali menyergap, hanya saja di case pertama aku bisa menahan untuk tidak meledakkannya di depan orang yang bersangkutan walaupun akhirnya aku terang-terangan menyerangnya di sosial media dan dia tidak memberi perlawanan balik seperti biasanya dia suka menyerang orang-orang. Kali ini dia memilih diam dan diam seterusnya. Case pertama ini juga tidak terlalu aku renungi gimana gitu, maksudku aku tidak merasa bermasalah dengan respon emosiku yang begitu.
Tetapi pada case kedua ini, amarahku benar-benar meledak dan di luar kendali. Bisa dibilang ini lebih parah dibandingkan menggores meja pria itu. Karena ini terhitung sudah kejadian 3 kali dalam setahun, mungkin sudah waktunya untuk direfleksikan dan dibaca polanya (karena aku suka membaca pola) untuk meminimalisir kemungkinan kejadian serupa di masa yang akan datang.
Lalu Mas "Fismur UGM" ini menanggapi dengan sebuah perumpamaan. Dia mengajakku membayangkan
Jika aku berenang dipermukaan laut, lalu tiba-tiba ditarik dengan kecepatan tinggi ke dasar laut, apa yang terjadi?
dan aku jawab "langsung mati gak sih? karena perbedaan tekanan yang tinggi dan cepat" karena perbedaan tekanan di permukaan dan dasar memang berbeda tetapi pada saat itu, otak awam fisika ku ini hanya membayang gelas kaca dingin yang tiba-tiba di tuang air panas lalu pecah seketika.
Nah bener, atau bahkan bisa hancur juga karena tidak siap menerima tekanan sebesar itu. Makanya kenapa pekerja tambang di laut lepas, saat mereka akan menyelam untuk melakukan pengeboran, mereka menyelam secara perlahan atau kecepatannya pelan.
Selanjutnya dia menjelaskan makna dari analogi tersebut dan kaitannya dengan pengelolaan emosi adalah untuk merespon tekanan itu secara perlahan dan bertahap atau jangan membiarkannya menumpuk dan bahkan bisa jadi amarah itu suatu hal wajar jika tekanannya datang secara besar dan cepat, sudah bisa dipastikan aku akan bernasib sama dengan orang berenang di permukaan laut yang ditarik tiba-tiba menuju dasar, alias hancur dan mati.
Tapi sebenarnya baru saja aku terpikir suatu pertanyaan "Bagaimana jika ternyata tekanan kecil-kecil itu tidak bisa kita hadapi secara perlahan?", mungkin jawabannya bakalan jadi "yaudah kamu mentas aja dari permukaan laut, alias cabut aja lah wkwk" atau mengabaikan triger nya kali ya. Karena kalau di ranah profesional kita pun juga ga mungkin main cabut seenaknya gitu aja.
2. Pembuktian tidak ada yang sia-sia di dunia ini
"Manusia akan sadar setelah merasakannya sendiri daripada diberitahu langsung"
Well, benar juga. Di tahun 2024 ini rasanya aku agak menuai beberapa hal yang pernah kami diskusikan di tahun 2022 silam. Mulai dari proyek jurnalisme hingga riset data. Semula aku pikir itu adalah bahasan yang sia-sia karena aku kebingungan mulai dari mana dan pun dia merasa masih banyak hal yang miss dan perlu digali lebih dalam lagi.
Memasuki tahun 2023, aku semakin merasa apa yang kami bahas di tahun 2022 itu terasa mustahil dan pengalamanku di tahun 2021 yang bisa saja mendukung wacana itu pun terasa sia-sia.
Tetapi tahun 2024 ini terasa seperti keajaiban, mulai dari aku yang mendapati pekerjaan di tim survey politik hingga berkesempatan mengulik lebih dalam terkait usaha riset data dan konsultan politik yang aku ikutin proyeknya ini. Seperti mendapat wangsit saja atas apa yang pernah kubahas di tahun 2022. Lalu mendapat beasiswa jurnalis ekologis, rasanya juga nyambung dengan diskusi kami di 2022. Pengalaman-pengalaman ini membuatku tersadar bahwa tidak ada yang sia-sia. Hasil pemikiran atau bahkan impianku bisa saja terwujud hanya saja di waktu yang entah kapan dan tugasku hanyalah percaya dan mengupayakan.
Namun jujur saja kali ini sampai-sampai aku benar-benar tidak merasakan upaya yang gimana-gimana gitu, kali ini benar-benar seperti dituntun Tuhan dan dibukakan jalan oleh Tuhan.
Kemudian aku berkata pada Mas "Fismur" ini
Butuh waktu dua tahun untuk mendapatkan jawaban apakah keinginanku itu mungkin atau tidak, atau malahan tidak menutup kemungkinan Allah bakal kasih apa yang kita inginkan di waktu 5 atau 10 atau bahkan 40 tahun lagi
lalu dia menjawab
Well yeah.. tugas kita cuma terus berjalan kesana dan yakin, itu aja. Tidak ada usaha yang sia-sia, kita cuma butuh sabar aja.
Dan disini aku yang ngeyel di tahun 2022 itu mulai sadar ketika mengalaminya sendiri bahwa upayaku di tahun 2022 terasa tidak sia-sia di tahun 2024.
Baru inget juga poin ke-dua ini juga pernah aku bahas di "Nyaman Menjadi Tertinggal" dengan teman ku Tole sebagai inspirasi, tetapi di tulisan percakapan dengan Mas "Fismur" ini menjadi pembuktian aku juga bisa seperti Tole.
Komentar
Posting Komentar