 |
sumber dah ada di foto, kenapa aku milih foto mba nya karena ya ngerasa cocok sama kata-katanya. Kemarin aku cuma passing time juga wkwk |
Dulu, waktu di fase menjalani hidup dengan penuh targetan dan masih punya mentor juga, rasanya hidup itu jadi seperti serba sat-set. Bikin wish list setahun yang kecapai bisa setengahnya atau bahkan lebih. Tahun-tahun itu (2018-2021) aku anggap sebagai masa keemasan. Dimana dulunya aku di sekolah kerjaannya cuma malas-malasan dan numpang tidur di kelas, tapi pas kuliah tiba-tiba punya capaian dan relasi luas (dulu jaman sekolah ya ada-ada ajasih cuma aku anggap itu faktor luck). Orang yang pendiem dan kuper ini tidak menyangka bisa mendapatkan itu semua, tapi ya hal itu juga sebenernya sebanding sama usaha yang dikasih.
Lepas tahun 2021, berakhir juga masa hidup yang penuh targetan itu. Semua orang disekitarku mulai punya kehidupan sendiri-sendiri dan tempat aku tumbuh itu juga udah sampai dipenghujung masa alias "udah gak jamannya aku disitu lagi", dan yang harus aku lakuin adalah cari tempat belajar baru. Tapi gimana jadinya kalau ternyata tempat yang seperti kemarin itu ga aku dapetin?
Dan yaa.. 2022 itu aku gak dapetin wadah itu, daftar sana sini ketolak. Akhirnya mutusin buat mengisolasi diri, merefleksikan apa yang udah terjadi beberapa tahun belakangan ini.
Tapi sejujurnya, aku juga memahami situasi kenapa aku tidak mendapatkan wadah berkembang atau kenapa pada saat itu aku tidak melenting ke atas melainkan jatuh ke bawah. Saat itu aku hanya bisa menyaksikan teman-temanku yang terus mengangkasa sedangkan diriku hanyalah seorang yang mendongak melihat ke atas mereka terbang dan berkilau.
Ku akuin hal tersebut membuatku frustasi, bukan karena hasad atau iri tapi lebih ke menyalahkan diri kenapa tidak bisa seperti itu. Namun hal yang tak terlintas adalah menanyakan kembali apa yang sebenarnya membuat aku tidak bisa seperti mereka? Pertanyaan kenapa itu rasanya lebih susah dijawab daripada pertanyaan apa. Benar saja, setelah berani jujur kepada diri sendiri menanyakan hal tersebut, lalu kutemukan jawabannya:
Membandingkan diri sendiri dengan orang-orang yang terlampau jauh, membandingkan diri dengan tujuan
Yah begitulah. Pada saat itu, mendapati pengalaman magang di Senayan benar-benar pengalaman yang berharga tapi juga menjadi pisau bermata dua. Pertemuanku dengan teman-teman disana yang memiliki kecerdasan dan capaian yang jauh-jauh lebih banyak dariku bener-bener bikin insekyurrr wkwk.
Kalau kembali ke kampus mungkin aku bisa agak berbangga dikit, tapi lain hal waktu di dalem Senayan bersama teman-teman magang lainnya.
Mereka bisa mengerjakan berbagai tugas di kantor sekaligus ikut lomba dan kuliah. Tak hanya itu lomba yang mereka ikuti bisa menang, kuliah aman, kerjaan kantor kelar. Sementara aku sepertinya keteteran dengan kerjaan kantor dan kuliah pun ya begitu, lomba? boro-boro, ngurus ormawa dah pusing dah capek.
Udah minder plus membatasi kapasitas diri, seolah-olah fisik ini kemampuannya terbatas. Alhasil yang dilakuin cuma bisa meratapi nasib dan memikirkan "impian bisa kecapai ga ya? keknya mereka lebih layak dapet impianku daripada aku sendiri"
Kek ibarat kata nih, sama-sama mau ke Jakarta dari Surabaya, aku itu masih di Ngawi tapi mereka sudah di Indramayu. Jelas lebih deket mereka dibanding aku (pada saat itu mikirnya begitu hehe).
Sudah minder malah dilanjut memberi afirmasi kata-kata negatif ke diri sendiri
Nah minder itu terus berlanjut dengan memberi afirmasi negatif kalau hal itu tidak mungkin untuk aku. Bahkan lebih parahnya sempat menyalahkan takdir seperti "Keknya aku ga ditakdirkan untuk itu deh".
Padahal usaha yang dikasih juga belum seberapa tapi dah main ambil kesimpulan jelek begitu. Pikiran jelek itu semakin menjadi-jadi dengan tidak bertemunya aku dengan lingkungan baru yang positif apalagi ketemu mentor, jelas gatau mau nyari dimana.
Tapi semua itu berakhir di tahun 2024
Aku ga menjamin bakal jadi orang se sukses mereka yang sudah lebih banyak capaian daripada aku, tapi satu hal yang bisa aku pastikan adalah cara berpikirku sudah tidak sama lagi seperti kemarin.
Anggaplah ini fase Enlighten muehehe
Di tahun 2024 ini aku banyak belajar dari seorang yang baru aku temui di penghujung 2023, sebut saja Si Tole.
Si Tole ini merupakan seorang pemuda yang lulus dari kampus "agak" ternama hehe, dan dia masuk jalur mandiri plus gap year pula. Keseharian si Tole dan bagaimana dia menghadapi masalah, ini seperti aku dipertemukan dengan sosok aku tapi di badan yang lain wkwk.
Tole ini sebenernya suka belajar hal-hal baru, tekun dan disiplin. Dia selalu bisa memenuhi tuntutan atasan tanpa ada penolakan kek "tapi pak..", tidak pernah membantah dan selalu nurut. Sayangnya beberapa orang tidak bisa melihat kelebihan dan kerja keras yang dikeluarkan si Tole ini, dan sepertinya Tole menyadari itu. Dia banyak belajar dan berusaha lebih baik lagi, tapi dia terjebak dalam sebuah bubble yang membatasi ruang tumbuh dia. Tole juga punya pemikiran kalau dia tidak akan semujur orang-orang di luar sana dalam mencari pekerjaan karena keterbatasan yang dia miliki (latar belakang pendidikan maksudnya).
Berhubung aku sempat melakukan analisis kecil-kecilan tentang bagaimana rekruiter menjaring pekerja, aku jadi tahu kalau sebenernya si Tole ini mumpuni. Alhasil, aku mendorong si Tole untuk semangat apply lagi bareng aku juga cari-cari pekerjaan. Disitu aku juga kasih afirmasi positif seperti memberi tahu dia apa yang dia lakukan itu bener-bener bagus malahan lebih bagus daripada orang di luar sana (temen-temen se kampus ku maksudnya), jadi tidak perlu minder. Aku juga bilang
"Kamu dah banyak belajar, yang kamu butuhin itu cuma yakin sama ilmu yang kamu dapetin dan percaya sama intuisi kamu kalo kamu bisa"
Selang beberapa hari aku lihat si Tole mulai jadi pribadi yang lebih percaya diri, lebih semangat kerja dan bahkan dia menunjukan ke siapapun yang meremehkan dia saat semua orang diberi kerjaan yang sama, dia bisa mengerjakannya dengan lebih baik. Sekarang Tole dapet pekerjaan juga di Jakarta. Alhamdulillah.
Melihat Tole ini aku seperti disadarkan tentang betapa powerful-nya afirmasi positif itu
Perlahan aku mulai melakukan hal yang sama ke diriku untuk berhenti berkata-kata negatif tentang aku dan mulai memberi afirmasi positif.
Makasih ya Tole hehe.
Dan closingan, sebenernya masih ada satu orang lagi sih yang mau aku ceritain cuma yaaa masih mikir-mikir lagi keknya kepanjangan.
At the end, sebenernya nggak papa loh jadi terlambat mencapai sesuatu hal gitu. Dari Tole aku juga melihat dia pun akhirnya bisa mendapat pekerjaan sesuai harapannya ditambah saat dia mulai yakin sama dirinya sendiri. Pun aku juga harusnya demikian.
Nggak ada yang salah dengan impian, nggak ada yang namanya impian layak ga layak. Semua itu jadi layak kembali ke diri kita sendiri yang mau mengupayakan atau tidak. Mau berusaha mengejar atau tidak.
We still fit into our dreams as long as we put concistency effort to it. No matter how long it takes but it's still make it posible.
Berkaca dari Tole juga, kalau aku bisa menaruh usaha sekecil apapun ke impian aku, pasti perlahan aku juga sampe kesana. Tanpa mikir mungkin ngga nya, kalau konsisten ntar juga bakal sampe. Yang penting intinya ke Jakarat juga kan? walaupun ceritanya masih di Ngawi, daripada diem mending dipake jalan kaki. Yang lain mungkin punya transportasi yang bisa mengantarkan mereka ke sana dengan cepat atau mereka lebih dulu meraih peluang naik bus jadi bisa sampai Jakarta lebih dulu. Tapi bukan berarti aku tidak mungkin bisa sampai sana kan?
Lebih baik jalan dari pada diam, karena diam tidak mengantarkanmu ke manapun apalagi ke tujuanmu :)
Komentar
Posting Komentar