Perenungan Malam Hari perihal Iri dan Insekyur

sumber: dah jelas di gambar ada yagesya

Habis balik dari motoran malem-malem muter Solo, pas sampe kosan buka youtube dan nemu konten ini di beranda. Awalnya niat mau scroll, tapi karena pointer mouse berhenti di video itu (tanpa aku klik) jadinya auto ke play. Intronya menarik sih, si mbak ini buka video dengan pernyataan kalau "iri adalah hal naluriah atau dah insting manusia dari sananya" (lupa pasnya gimana tapi intinya gini)

Pas denger itu langsung tiba-tiba mikir "kapan ya aku terakhir iri?
Kayak sok iya banget pertanyaanya, tapi setelah direnungi, punya masalah hidup yang gede dan jelas terpampang di depan mata ternyata bisa jadi privilise juga.

Masalahnya, boro-boro mikir pingin jadi seperti si A dan si B atau pinginya kehidupan kaya si C, besok mau makan apa aja masih bingung, mau ngerjain apa dan cari job freelance apa lagi yang mau dikerjain, intinya mikirin aku mau hidup gimana besok dah cukup bikin kepalaku penuh. Jadi dari situ aku menyimpulkan "Alhamdulillah bukan orang yang punya iri"

Tapi kesimpulan itu berubah ketika si mba konten kreatornya cerita tentang pengalaman kenapa dia pernah merasakan iri di masa lalu. Dari perspektifnya, dia beranggapan 

"Ngerasa iri atau pingin punya kehidupan seperti orang lain itu juga didorong oleh faktor lingkungan yang ngasih nilai atau standar ideal ke aku (mbak konten kreator) dan aku ngga masuk standar atau lolos penilaian itu."

Mbak nya juga bilang kalau dia punya pengalaman dikatain kurus sama temen-temennya sambil megang atau ngelingkerin jarinya ke pergelangan tangan mbaknya sambil bilang "yampun kecil banget, kurus banget, takut patah" dan gebetan dia yang bilang gasuka sama dia karena si mbaknya ini dirasa ngga kayak cewek pada umumnya yang harusnya punya badan dan penampilan ideal seperti foto yang mas nya tunjukin. Tapi mbaknya sekarang sudah ngga ngerasa iri apalagi insekyur semenjak dia lulus kuliah dan lingkungan pergaulannya berubah.

Gara-gara cerita pengalaman yang persis banget kayak punyaku, alhasil langsung aku buka full video yang nampang di beranda itu. Dengerin cerita-cerita pengalaman mbaknya ini bener-bener bikin wisata masa lalu sekaligus refleksi sama lingkungan sekitar.

Dulu aku ngga suka banget sama badanku ini, karena kebanyakan teman-teman di sekolah pada ngasih penilaian yang kurang baik. Mulai dari warna kulit, badan yang kurus tidak semok baik bagian atas maupun bawah, dan gigi yang tidak rapi bikin aku ngerasa iri (oke jadi dulu aku pernah iri) dan pingin jadi seperti cewek-cewek ideal yang ada di sekolah. Mereka juga beranggapan kondisi fisik yang aku punya ini gabakal ada orang-orang yang tertarik.

Setelah lulus sekolah dan melanjutkan kuliah di Solo, aku bener-bener dikejutkan sama adanya orang-orang yang mau bergaul sama aku tanpa ngerasa takut, jijik, atau malu, berbeda banget dari pas masa sekolah dulu. Bahkan yang paling mengejutkan ada beberapa anak yang memuji fisikku atau malahan membicarakanku dibelakang kalau aku ini manis dan nyenengin buat dipandang. Hampir semua orang di sini menerimaku dan hal ini yang bikin aku ngga ngerasa iri atau insekyur lagi.

Nyambung ke bahasan mbaknya itu, faktor lingkungan benar-benar berpengaruh terhadap bagaimana kita berpikir, bagaimana kita merasa, iri atau tidak, insekyur atau tidak. Karena baik dari pengalam si mbak konten kreator maupun pengalamanku sendiri, kita merasa iri dan insekyur karna dahulu kita dicekokin sama penilaian negatif orang ke kita dan ngebanding diri kita ke standar yang mereka terapin

Sehingga

Ada gap antara apa yang ideal dengan kondisi kita saat itu yang menghadirkan perasaan iri atau rendah diri alias insecure, sedangakan saat kita pindah atau berganti lingkungan yang menerima kita apa adanya, gap tadi perlahan hilang begitu pun perasaan insekyur turut pergi.

Alasan ini juga yang menurut mbak konten kreator merasa bahwa perasaan iri dan insekyur itu wajar ada (karena biasanya ini dinilai salah) bergantung pada kondisi lingkungan. Pernyataan ini juga bukan bermaksud menyalahkan faktor luar dan menolak intropeksi, tetapi tidak memungkiri pemikiran juga hadir dari pengaruh nilai-nilai orang-orang di sekitar

Iri dan insekyur itu juga ada bagusnya

Saat perasaan iri dan insekyur itu muncul, momen itu bisa dimanfaatkan sebagai sarana intropeksi dan motivasi buat tumbuh. Misal kita iri sama capaian orang yang udah kerja di perusahaan besar dan ada rasa ingin bisa seperti dia. Perasaan kaya gitu bisa mendorong diri buat mikir "gap apa sih yang ada diantara kita?" atau "usaha seperti apa yang dia lakukan dan kenapa aku masih stuck di sini?" 
Dari hasil perenungan seperti itu, kita akan jadi lebih mudah memetakan apa saja yang harus kita lakukan atau jalani agar bisa mencapai keinginan kita. Malah jadi tau langkah-langkah ke depannya mau gimana.

Tapi iri dan insekyur juga bisa berakibat buruk kalau..
Cara kita membiarkan perasaan itu hadir dengan pemikiran "orang lain wajar bisa jadi seperti itu karena punya privilise orang kaya" atau "Pantes dia bisa soalnya dia kan lulusan kampus besar dan punya ordal juga." Semacam pemikiran-pemikiran yang membuat kita jadi tidak berdaya dan stuck di situ-situ saja. 

Aku inget dulu pernah ngalamin perasaan sejenis ini, seperti iri dan insekyur atas capaian seseorang, tapi memilih tidak berbuat apa-apa dan menerima bahwa hal itu wajar karna aku tidak seberuntung dia atau tidak memiliki privilise yang sama. Padahal capaian-capaian itu hadir atas perjuangan. Sebuah keterampilan ada karena dilatih. Seharusnya perasaan insekyur itu aku atasi dengan meningkatkan keterampilan bukan malah menerima keadaan yang gabisa apa-apa. 
Pun pemikiran "toxic" ini ada juga dipengaruhi faktor pergaulan yang mana pada saat itu, aku deket sama seseorang dan dia sering bilang "kamu itu gabakal bisa jadi seperti si A yang lulusan dari kampus ternama, kamu tertinggal jauh, bahkan lari kencang pun kamu ga akan bisa setara dengan kami yang dari kampus top,"

Hal yang menarik adalah ketika aku lepas dari orang ini dan tidak lagi menerima cekokan kata-kata seperti itu, aku menyadari bahwa hal-hal yang dianggap tidak mungkin aku kuasai, ternyata bisa aku kuasai dan dipelajari dengan mudah, kesempatan baik perlahan datang dan ngga disangka juga bisa menjadi jauh dan jadi pribadi yang aku inginkan (awalnya aku iri orang bisa seperti itu, ternyata aku bisa).

Kuncinya ada di memilih pertemanan dan mengikis gap dengan usaha, kaya at least kamu tau kamu mau apa dari adanya perasaan iri, bukan berarti membuat kamu jadi ga otentik tapi lebih ke menghadirkan motivasi untuk berubah ke arah lebih baik lagi, seperti mengubah perasaan iri menjadi inspirasi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pov setelah nonton drakor "When Life Give You Tangerines"

Percakapan tengah malam dengan Mas "fismur ugm"

Ini hari kebalikan dan "aku ingin kamu pergi"

Jadi Villain Aja Gapapa Daripada Jadi Pahlawan Kesiangan