Ini hari kebalikan dan "aku ingin kamu pergi"

pov usahaku mempertahankanmu

 "Aku terbiasa berusaha membaca apa yang terjadi di masa yang akan datang sampai aku lupa caranya hidup di masa kini."

Hal yang aku renungi setelah mendapat kabar uang masuk ke rekeningku dari seseorang. Pengalaman dikecewakan oleh orang-orang yang aku percaya selalu berhasil mendorongku untuk memikirkan hal negatif yang akan orang sekitarku lakukan padaku atau apa yang akan aku alami, walaupun sebenarnya ini melelahkan juga.

Januari 2024 lalu aku bertemu dengan seseorang di kantor. Sebenarnya aku sudah beberapa kali melihatnya berseliweran di dalam kantor, hanya saja aku tidak mengetahui dia siapa dan bekerja sebagai apa, sampai akhirnya salah satu pegawai kantor menjelaskan tentang orang tersebut "Itu anak voluntir put"

Tidak terlalu aku ingat bagaimana persisnya perkenalan kami, sepertinya cukup random dan yang masih sangat jelas ku ingat adalah percakapan di depan pintu kantor, kami saling berkeluh kesah tentang hidup dan saling melempar curhatan betapa melelahkannya mencari pendapatan agar bisa melanjutkan perkuliahan. Lalu percakapan berlanjut di DM Instagram karena sebelumnya dia menjanjikan akan memberikan info lowongan kerja. 

Jujur aku kaget setelah tau dia langsung reach out DM dan memberikan info kerja. Entah itu memang pekerjaannya mencari pekerja atau emang sebaik itu orangnya. Satu lowongan ke lowongan lainnya sampai akhirnya aku cocok dan percakapan akhirnya lanjut via whatsapp

Kami semakin dekat tidak hanya lewat pekerjaan yang dia kasih, tapi dari beberapa percakapan di kantor sampai dia sempat melabeliku sebagai filsuf mungkin karena jawabanku selalu filosofis atas setiap pertanyaan dan cerita yang ia berikan, memang gaya menjawabku tidak pernah selalu to the point melainkan dijabarkan satu persatu setiap poin yang ada di dalam konteks yang dibahas.

Seiring berjalannya waktu, ia semakin sering bercerita dan aku akuin dia satu-satunya orang yang cukup sering bertanya tentang kehidupanku, rasanya seperti kurang pas kalau tidak turut membagikan kisah pribadiku ke dirinya setelah mendengarkan curhatan yang ia curahkan. 

Perlahan-lahan semakin kuselami dunianya lebih dalam lagi, secara tidak sengaja aku mulai mengagumi figurnya. Sosoknya pun juga menghangatkan dan menciptakan rasa aman untukku. Tidak terlalu jelas apa yang aku rasakan sebenarnya, terlebih beberapa hal terjadi secara tidak terduga dan beruntun. Mulai dari panggilan kembali ke kantor dan bertemu dengan seseorang yang pernah sangat aku sayangi, membuat semuanya semakin sulit untuk tahu kapan aku mulai membuka hati. 

Namun satu hal yang tidak bisa kupungkiri adalah perasaan seperti rumah, ya seperti aku menemukan rumah, meskipun begitu aku tetap tidak ingin buru-buru menafsirkan perasaan suka atau apapun itu.

Sampai akhirnya dia bertanya tentang perasaanku saat itu, apakah masih terpaut dengan masa lalu ataukah ada orang baru. Pada saat itu memang aku belum benar-benar bisa mendefinisikan apa yang ada di hati terlebih perasaanku ke dia. Yang pasti memang saat itu seperti kupaksakan diriku menemukan orang baru untuk melupakan masa lalu, namun orang baru itu bukan dia.

Barangkali jawabanku itu yang akhirnya menggiringnya untuk bercerita tentang seseorang yang disukainya dalam komunitas voluntir, atau mungkin keadaan lingkungan kerja di tim survey yang membicarakan atau mencomblangkan dia denganku. Mungkin cerita ini dia bangun agar menghidarkan diriku dari perasaan canggung saat dekat dengannya, tetapi cerita seperti itu memberikan sensasi bahagia dan kalut di waktu yang bersamaan bagiku. Bahagia rasanya mendengar orang baik ini menemukan sosok yang baik juga sebagai tambatan hatinya, sedangkan rasa kalut itu hadir dari kekhawatiran jika nanti dia pergi menjauh.

Hari berganti hari, proyek survey satu ke proyek survey berikutnya, suasana semakin tidak kondusif. Orang-orang di belakang mulai membicarakannya.

"Saat kita sedang mengobrol, aku lihat tatapan matanya seringkali ke arahmu mba." 

atau 

"Semalem kasihan lo put, dia mikirin salahnya sama kamu apa kok sampai diblokir gitu"

bahkan ibu yang punya rumah basecamp juga ikut menanggapi

"Mba kayanya mas itu suka sama kamu"

dan beberapa ceng-cengan dari SPV serta keadaan lucu seperti dikira pasutri oleh pegawai alfamart perkara kami cekcok tentang aku yang memilih belanja dengan uangku dan tidak jadi satu pakai uang dia

"Lah katanya kamu kan ngga pegang uang cash, yaudah aku beli pakai uang ku." ujarku

Lalu ia menjawab

"Udah aku belani sampai keluar nyebrang ke ATM buat ambil uang lho."

dan aku hanya menjawab kecut "ya gatau kan kamu ga bilang juga"

 kemudian ia malah menyodorkan susu kotak untukku.

Benar-benar seperti percakapan pasutri sih kalau dipikir-pikir wkwk

Chat-chat yang semakin banyak dia kirimkan dan bahkan di luar konteks pekerjaan, seperti perhatian-perhatian kecil semakin membuat hatiku tak karuan. Rasanya seperti aku harus membangun benteng pertahanan berisi sejuta pikiran negatif tentang dia. Tapi semakin jelek aku memikirkan dirinya, semakin baik dia membuktikan bahwa dia tidak seperti itu dan membuatku semakin kacau. Perasaan serakah ingin memilikinya mulai timbul dan kecemburuan tak jelas sudah menyergap setiap aku melihatnya dengan wanita lain, khususnya temanku yang pada saat itu aku ajak ikut proyek survey juga. Kulihat mereka semakin dekat dan mungkin bakal jadi, entahlah.

Aku tidak ingin membayangkan yang lebih jauh lagi.

Bahkan aku tidak peduli saat temanku bilang tentangnya yang khawatir akan diriku.

Tapi semakin aku berusaha membenci dan menjauhinya, semakin sempit ruang udara di dadaku. Tidak ada yang bisa aku dapatkan selain kesedihan dan ketakutan kehilangan sesorang yang mulai aku anggap sebagai rumah. 

Terus kukutuki diri ini sebagai orang yang tidak layak menerima kebaikan dari orang lain, hidup tentang aku dan hanya aku yang akan memperjuangkannya sendiri, bahkan teman dekatku saja tidak peduli dengan kesulitanku apa lagi dia. Aku benar-benar tidak pantas mendapatkan orang yang peduli atau sayang denganku. Setiap orang yang aku sayang akan pergi, setiap rumah akan musnah, aku benar-benar sendirian.

Itu sebab juga kenapa aku begitu marah saat satu-satunya hal yang bisa kuperjuangkan untuk diriku sendiri melanjutkan hidup, dia ganggu dengan permintaan membawa temanku pulang ke kosan dan meninggalkan pekerjaanku. Teman kosku yang sangat dekat denganku saja tidak memahami betapa sulitnya hidupku apalagi berharap padanya, aku yakin aku salah mendefinisikannya sebagai rumah, sebagai tempat aman, tempat nyaman

Kali ini masa depan yang aku bayangkan menjadi terasa benar dan aku hanya bisa menangis histeris

"tidak adakah seorang pun yang bisa mengerti tentang ku?"

Kekecewaan dan sepi menyelimuti hari-hari setelah itu, tidak ada kehangatan matahari menyentuh tubuh kurus ini. Semua gelap dan dingin. Aku pun juga tidak mau mengakui bahwa aku takut kehilangannya, tetapi semakin aku menyangkal semakin sakit yang aku rasakan seolah ada semak belukar penuh duri yang kian memanjang durinya saat aku menyangkal apa yang benar-benar aku rasakan dan aku inginkan.

Kemarin aku berjumpa dengannya lagi di kantor

Pakaian kaos berwarna lavender berlengan panjang yang ia kenakan dan rambut tergurai hampir menyentuh bahu, lebat dan tidak lepek, tubuhnya yang tinggi dan berisi masih dalam ukuran ideal, serta tawanya memberikan ketenangan dan sinar mentari seperti hadir kembali setelah sekian badai.

Aku takut dia juga membenciku setelah kejadian beberapa hari lalu, murka besar ku curahkan padanya terus-terusan yang mana semua itu bukan salahnya.

Ketakutanku sirna bersamaan dia menyebut namaku saat berpamitan, buru-buru kupanggil namanya untuk mengajakknya berbincang sebentar. Rasanya benar-benar nyata, seperti tiupan udara segar dan aroma rerumputan berembun di pagi hari bisa aku rasakan dari kedekatan kilat dari obrolan singkat.

Buru-buru aku chat dirinya untuk memastikan semuanya baik-baik saja.

Sepertinya tidak, kecepatan membalasnya juga berkurang, tidak seperti biasanya.

Tapi malamnya, pesanku terbalas dan hal yang diluar dugaanku adalah dia menambahkan uang di dalam fee surveyku. Semua terasa menyenangkan saat aku pikir itu untuk aku bagi dua dengan temanku, sampai akhirnya dia bilang bahwa uang lebih itu tidak untuk aku bagi melainkan hanya untukku seorang.

Tidak berakhir disitu, kebingunganku juga bertambah saat mengetahui pendapatan inputku bertambah namun tidak dengan temanku. Ini sudah pasti ulahnya.

Tapi kenapa dia sebaik itu?

Aku bingung apakah aku harus senang karena menemukan dugaanku yang salah dan seolah aku menemukan harapan padanya sebagai rumah atau khawatir dan memikirkan bahwa ini mula dari malapetaka di kemudian hari?

 

Another inspiration in this story:

Wildflower - Beach House

Bad Habit - Steve Lacy




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pov setelah nonton drakor "When Life Give You Tangerines"

Perenungan Malam Hari perihal Iri dan Insekyur

Percakapan tengah malam dengan Mas "fismur ugm"

Jadi Villain Aja Gapapa Daripada Jadi Pahlawan Kesiangan