Tentang Rasa (part 2)
(Keterangan gambar: angin)
Dan pada akhirnya
Gadis tak tau diri ini pun melepas angin tersebut itu pergi
Mungkin malam ini akan menjadi malam terdinginnya atau malah
semakin menguatkannya untuk bertahan
Angin memang telah membawa ia terbang tinggi, namun angin
datang dan pergi. Sewaktu-waktu gadis ini merasakan sakitnya jatuh, bahkan
sampai memar. Untung saja tidak patah tulang.
Memang diterbangkan oleh angin itu memang menyenangkan,
namun kurang aman. Lebih baik jika ia merakit pesawat atau alat terbangnya
sendiri.
Berpayah-payah dahulu membuat baling-baling dan diikuti
dengan kerangkanya. Melelahkan dan menyebalkan memang jika semuanya dilakukan
sendiri. Tapi gadis ini harus bisa terbang, segera kembali ke nirwana bersama
kawan-kawannya yang sudah di atas sana.
Benar-benar mengesalkan. Semakin lama semakin rindu saja.
Namun benar kata pujangga bijak di kampung selatan sana
untuk tidak takut dengan kehilangan, karena sesuatu yang hilang dan diikhlaskan
pasti akan Tuhan ganti dengan sesuatu yang lebih baik lagi.
Mungkin Tuhan akan memberinya pesawat jet, hingga ia bisa
pergi sangat tinggi. Akan tetapi tetap saja, sekecil apapun hadiah dari Tuhan,
merupakan sebuah titipan yang harus dijaga.
Bagaimana dengan angin? Apakah ia masih membutuhkan
penjagaannya?
Ah si gadis bisa apa. Dia payah dan tolol. Bahkan seandainya
ada isyarat dari angin untuk mempertahankan kepercayaannya pada angin, tetap
saja ia tidak akan pernah mengerti.
Dia menenangkan dan hilang, tanpa menyita waktu banyak. Si
gadis belum sempat membaca isyarat dari si angin. Jika ada alasan untuk
bertahan dengan si angin, apakah ada kepastian jika ia tidak akan jatuh? Sementara
ia sering jatuh dan terancam hancur di tulang ekor. Karena selalu melakukan
pendaratan di tulang ekornya, tanpa pikir panjang.
Kepada angin, seandainya engkau mengerti bahwa sesungguhnya
si gadis pun menikmati lukanya ketika dijatuhkan. Karena kebahagiaan ia temukan
bersama angin.
Sudahlah, memang impian kebahagiaan itu sudah sepantasnya
hanya menjadi angan yang melambung tinggi dan tak kembali. Daripada kebahagiaan
dari si angin, nasib tulang ekornya lebih penting dari pada batinnya yang
selalu meraung kesepian.
Dewasa ini siapa yang lebih peduli dengan perasaan? Si angin
saja seringkali mengingatkan si gadis untuk meredam hasrat perasanya dan
mengasah logikanya. Padahal dalam mengambil keputusan besar sekian detik, tak
jarang orang menggunakan perasaannya.
Aihh..semakin tidak jelas. Perasaan dan tulang ekor juga sama
pentingnya, keselarasan keduanya akan membuat ia bisa terbang ke nirwana.
Seharusnya, jika si gadis itu tidak tolol akan lebih bijak
jika ia mengencani teknisi saja daripada angin yang tak kentara wujudnya. Namun
kebodohan telah menjadi takdirnya, hingga soal perasaan saja ia serahkan kepada
angin. Entah kemana sekarang angin membawa hati itu pergi, apakah tetap ia
bawanya? Atau ia tinggalkan di suatu tempat pelabuhannya sementara, bisa jadi
hati gadis tolol ini telah ia tinggalkan di sebuah cafe sunyi tak bertanggung
jawab.
Sekarang ia benar-benar merana. Besoknya ia dipastikan akan
terisak bersedu sedan. Tahun depan ia berhasil merakit pesawatnya bersama
tambatanya yang baru. Lebih realistis, pilihan berakhir kepada seorang teknisi.
Komentar
Posting Komentar