Tentang Rasa (part 1)
Sumber gambar: https://www.facebook.com/nawasena.solo/
Jadi
Sore di kala itu
Kita duduk di kursi tinggi pada ujung sisi cafe ini. Dekat
jendela seperti biasa
Namun topiknya berbeda
Jam menunjukkan pukul 4 sore, dan hujan di luar. Kendaraan
yang berlalu lalang dengan cepat berusaha mencari tempat aman untuk berlindung
dari kengerian hujan yang selalu memberi kenangan sendu.
Aku rasa aku aman di dalam sini bersama dia, kehadirannya
bak angin lembut hangat di pagi hari
Selalu menenangkan jika hembusannya dan hangatnya menerpa
wajah yang ala kadarnya ini.
Aku menatapnya, ia yang sedang menghadap pada handphonenya, di sebelahku, lalu ia
mengalihkan pandangan ke depan jendela, diikuti dengan aku yang juga membuang
pandangan ke jendela.
“Apakah ada kemungkinan, kamu suka sama aku Put?” sambil
menatapku sekejap lalu membuang tatapan itu pada tangannya yang di genggam di
atas meja. Mendesis dan menarik nafas dalam-dalam, aku mendengar semua itu.
“Dengan kondisi emosionalku saat ini? Kau pasti paham” dengan
menghembuskan nafas sedikit berat setelah menjawab pertanyaan itu. Tak kuasa
aku menatap bola matanya, memang benar aku sedikit menaruh rasa padanya, namun
hati ini masih dicengkeram oleh pujangga itu. Dia yang entah dimana
keberadaannya, semalam membuangku tanpa perasaan, aku benar-benar kacau. Namun lelaki
di sebelahku ini, dia bak malaikat penjaga yang berusaha melindungi dan
menenangkan.
“Bagaimana dengan suatu saat nanti?” rasa penasarannya terus
memburuku, seolah-olah ada yang harus dibunuh dan dimangsanya dengan segera.
“Tidak bisa dipastikan apakah rasa itu akan ada atau malahan
jadi benci yang tak berkesudahan. Apakah sebuah momok bagimu jika rasa itu ada?”
Jantungku berdegup kencang, dan rasanya menyesakkan, entah
apa itu sebabnya. Aku merasakannya begitu jelas, nafasku menjadi singkat.
Semakin ak jawab semakin sesak, mungkin tombak buruannya itu telah menghujam
dadaku.
“Aku hanya khawatir jika nanti aku menjadi pria tersebut,
meninggalkanmu dan memberi rasa sakit. Karena ekspektasi yang berlebih.” Lalu
melirik pada cangkir tehnya, ia menatapku untuk memastikan kalimat terakhir ini
memang benar diucapkannya.
Pada dasarnya penolakan adalah hal biasa, dan menjadi
sesuatu yang biasa pula pada perempuan kebanyakan, bahwa setelah datang
penolakan dari pria yang ia harapkan, ia akan merasa menerima penolakan dari
seluruh orang di muka bumi ini. Aku pun menerimanya dari dua bumi yang berbeda
sekaligus.
Hanya tersenyum untuk meredam badai yang ada di hati,
sebagai pemungkas
“Santai aja.” Dariku yang benar-benar kalut dalam sunyi
Benar-benar hujan yang ngeri, namun memberi pelajaran untuk
tidak bersandar pada angin lembut yang hangat itu, dia tidak mengecoh, namun
sejatinya aku yang bodoh. Mana ada angin yang bisa digunakan untuk bersandar,
menggenggamnya saja tak mungkin.
Komentar
Posting Komentar