Tentang Rasa (part 1)

Gambar terkait



Jadi
Sore di kala itu
Kita duduk di kursi tinggi pada ujung sisi cafe ini. Dekat jendela seperti biasa
Namun topiknya berbeda
Jam menunjukkan pukul 4 sore, dan hujan di luar. Kendaraan yang berlalu lalang dengan cepat berusaha mencari tempat aman untuk berlindung dari kengerian hujan yang selalu memberi kenangan sendu.
Aku rasa aku aman di dalam sini bersama dia, kehadirannya bak angin lembut hangat di pagi hari
Selalu menenangkan jika hembusannya dan hangatnya menerpa wajah yang ala kadarnya ini.
Aku menatapnya, ia yang sedang menghadap pada handphonenya, di sebelahku, lalu ia mengalihkan pandangan ke depan jendela, diikuti dengan aku yang juga membuang pandangan ke jendela.
“Apakah ada kemungkinan, kamu suka sama aku Put?” sambil menatapku sekejap lalu membuang tatapan itu pada tangannya yang di genggam di atas meja. Mendesis dan menarik nafas dalam-dalam, aku mendengar semua itu.
“Dengan kondisi emosionalku saat ini? Kau pasti paham” dengan menghembuskan nafas sedikit berat setelah menjawab pertanyaan itu. Tak kuasa aku menatap bola matanya, memang benar aku sedikit menaruh rasa padanya, namun hati ini masih dicengkeram oleh pujangga itu. Dia yang entah dimana keberadaannya, semalam membuangku tanpa perasaan, aku benar-benar kacau. Namun lelaki di sebelahku ini, dia bak malaikat penjaga yang berusaha melindungi dan menenangkan.
“Bagaimana dengan suatu saat nanti?” rasa penasarannya terus memburuku, seolah-olah ada yang harus dibunuh dan dimangsanya dengan segera.
“Tidak bisa dipastikan apakah rasa itu akan ada atau malahan jadi benci yang tak berkesudahan. Apakah sebuah momok bagimu jika rasa itu ada?”
Jantungku berdegup kencang, dan rasanya menyesakkan, entah apa itu sebabnya. Aku merasakannya begitu jelas, nafasku menjadi singkat. Semakin ak jawab semakin sesak, mungkin tombak buruannya itu telah menghujam dadaku.
“Aku hanya khawatir jika nanti aku menjadi pria tersebut, meninggalkanmu dan memberi rasa sakit. Karena ekspektasi yang berlebih.” Lalu melirik pada cangkir tehnya, ia menatapku untuk memastikan kalimat terakhir ini memang benar diucapkannya.
Pada dasarnya penolakan adalah hal biasa, dan menjadi sesuatu yang biasa pula pada perempuan kebanyakan, bahwa setelah datang penolakan dari pria yang ia harapkan, ia akan merasa menerima penolakan dari seluruh orang di muka bumi ini. Aku pun menerimanya dari dua bumi yang berbeda sekaligus.
Hanya tersenyum untuk meredam badai yang ada di hati, sebagai pemungkas
“Santai aja.” Dariku yang benar-benar kalut dalam sunyi
Benar-benar hujan yang ngeri, namun memberi pelajaran untuk tidak bersandar pada angin lembut yang hangat itu, dia tidak mengecoh, namun sejatinya aku yang bodoh. Mana ada angin yang bisa digunakan untuk bersandar, menggenggamnya saja tak mungkin.

 (Ditulis dengan membayangkan lagu Finding Hope - 3:00 AM)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pov setelah nonton drakor "When Life Give You Tangerines"

Perenungan Malam Hari perihal Iri dan Insekyur

Percakapan tengah malam dengan Mas "fismur ugm"

Ini hari kebalikan dan "aku ingin kamu pergi"

Jadi Villain Aja Gapapa Daripada Jadi Pahlawan Kesiangan