Perkara Hidup Sebelum Lulus
Kemarin siang saya tidak sengaja bertemu dengan teman lama saya di sebuah masjid besar di kota Surakarta. Kami saling bertegur sapa dan saling lempar kabar. Dia yang bercerita tentang teman-temannya yang sudah pada sidang dan kesibukan dia yang saat ini tengah mengajar di sebuah Pondok Pesantren di daerah Gondangrejo, Karanganyar. Sementara aku hanya berusaha mengimbanginya dengan memberi kabar bahwasannya saya pun juga masih berjuang dengan skripsi dan berharap menemukan pekerjaan sambilan untuk menambah uang saku. Namun tanpa disengaja, cerita ini merembet ke curhatan tentang kondisi realita yang tidak melulu sesuai dengan ekspektasi, pasalnya seringkali kami berjumpa dengan wanita-wanita yang menggantungkan masa depannya pada sebuah harapan kelak akan menikah dan hidup ikut suami, namun yang jadi pertanyaan bagaimana jika hingga waktu yang entah kapan, ternyata diri kita ini tak kunjung menemukan jodoh? Dan terlanjur menunggu, tidak melakukan apa-apa, lantas menjadi beban keluarga. Yang harusnya sudah bisa hidup mandiri dan tidak bergantung kepada orang tua, namun karena kesalahan dalam memilih langkah akhirnya menjadi menyusahkan kedua orang tua lagi di saat usia mulia menginjak kepala tiga atau bahkan lebih.
Teman saya ini mengangguk-angguk mantap dan menambahkan kisah saudara sepupunya, yang walaupun sudah menikah, penghasilan dari suami belum dirasa cukup dan dia masih saja bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan pendidikan buah hatinya dengan alasan
“biaya pendidikan sekarang mahal”
Kalimat itulah yang ternyata menyadarkan temanku ini untuk tidak menggantungkan masa depan hanya pada angan-angan pernikahan dan pekerjaan mapan dari sang calon suami (jika ada), melainkan berusaha mulai sekarang membiasakan mandiri dan cari uang sendiri, agar kelak bisa memenuhi kebutuhan sekolah dan tumbuh kembang anak (ketika sudah punya).
Obrolan semakin seru ketika kami mulai teringat bahwa pemerintah telah memberikan fasilitas dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) yang mana menjadikan biaya pendidikan menjadi murah atau bahkan gratis. Jadi muncul pertanyaan lagi, pendidikan yang seperti apa yang ingin diberikan kepada calon buah hati esok? Dan akhirnya muncul sebuah pernyataan yang kita sepakati bersama kalau, kita masing-masing sama-sama menyadari mutu pendidikan sekolah negeri yang ada di Indonesia belum baik dan masih kalah bersaing dengan sekolah-sekolah swasta. Dalam artian saudara sepupu teman saya ini dan bahkan teman saya sendiri ini sudah berniat untuk menghimpun dana pendidikan calon anak besok di sekolah swasta.
Lantas, kurang ajarnya saya, bertanya
“Apakah kamu atau mungkin saudara sepupumu meragukan kapabilitas kalian dalam mendidik anak? Bukannya madrasah pertama dan yang paling utama berasal dari didikan orang tua, didikan di dalam keluarganya itu sendiri.”
Akhirnya kami hanya bisa tertawa, karena tidak menemukan jawaban dari pertanyaan itu, atau mungkin kita sudah tahu jawabannya, hanya saja terlalu malu untuk menerima jawaban itu.
Komentar
Posting Komentar