Perihal Ekspektasi seperti Ekstasi
![]() |
Sumber gambar dari twitter orang |
Tiba-tiba kepikir nulis gini gara-gara pengalaman hidup belakangan ini yang bener-bener jumpalitan. Pelajaran untuk tidak menaruh ekspektasi ke orang-orang ataupun keadaan itu sebenernya udah ada dari dulu dan sering banget disampaikan di ceramah-ceramah atau barangkali seminar motivasi. Tapi memang ini patut buat diingetin terus menerus karena manusia tempatnya lupa juga.
Disamping lupa, kadang nerapinnya juga ga mudah. Apalagi buat orang yang banyak overthinking-nya, susah. Proses pembelajaran tentang menurunkan ekspektasi di aku sendiri ini cukup panjang juga timelinenya. Mungkin dari rumah, dulu mikirnya darah lebih kental dari air seperti sudah pasti mereka akan selalu dipihakku atau minimal kasih support, tapi ternyata ngga. Dari rumah itu aku akhirnya belajar untuk tidak naruh ekspektasi ke orang luar atau lebih ke naruh ekspektasi itu ke beberapa orang aja dan itu dikit.
Ternyata walaupun dah diturun-turunin, dibikin lingkupnya makin kecil, tetep aja ada rasa kecewa. Akhirnya setelah itu bener-bener berusaha untuk ga berekspektasi ke siapapun. Pas ini dah ya mulai bener dikit lah, sampai akhirnya ketemu orang yang bener-bener minta dapat kepercayaanku. Segala overthinking berhasil dia patahkan, akhirnya setelah setahun ngga percaya sama orang, akhirnya mulai percaya lagi dan akhirnya naruh ekspektasi lagi, Singkat cerita, endingnya pasti dah ketebak, yaa bener aku dikecewakan lagi sama orang yang dulu minta aku percaya, apalagi setelah terlanjur deket makin lama makin tidak dihargai. Sudah tidak memenuhi ekspektasi, tidak bisa dipercaya, tidak dihargai pula. Disitu rasa kecewanya bukan main, akhirnya nggak lagi naruh percaya sama ekspektasi ke orang bahkan ke dunia. Semua aku pandang nisbi, tidak ada hitam atau putih. Toh yang putih nanti juga jadi hitam.
Setelah dua tahun lamanya tenggelam dalam pemikiran nisbi dan tidak berekspektasi, bertemulah aku dengan seseorang yang cukup unik. Seperti momennya pas saat aku sedang memikirkan jelek tentang semua hal, dia menangkal itu semua. Kalau dilihat-lihat alurnya hampir sama seperti orang yang dulu, buat antisipasi akhirnya aku coba cari tahu tentang orang ini ke orang-orang sekitar dan semua responnya positif, ditambah liat dia yang sebaik itu dan bisa khawatir tentang hidup aku. Akhirnya perlahan naruh kepercayaan dan ekspektasi ke orang ini. Buat antisipasi juga ceritain tentang masa lalu aku, pikirku kalo emang ada kemiripan banget secara pemikiran dengan orang sebelumnya dia bisa pergi dan juga ada harapan dia ga kecewakan aku seperti orang sebelumnya.
Sampai pada akhirnya aku menemukan akhiran yang sama. Seperti berpikir orang ini bisa diandalkan dan dipercaya, tapi ternyata semua bisa berubah 180 derajat. Yang awalnya peduli jadi tidak peduli, yang awalnya jujur jadi diragukan kejujurannya, yang awalnya bisa diandalkan jadi tidak bisa diandalkan, lebih menyedihkan lagi adalah ketika diri ini berusaha loyal sama orang yang sudah dipercaya tapi ternyata di luar sana orang ini malah menjatuhkan citra kita.
Dari sini aku belajar,
"Bahkan rasa hati-hati dan antisipasi tetap tidak bisa mentolerir kita naruh ekspektasi atau kepercayaan ke siapapun."
Ekspektasi itu aku anggap sama halnya seperti ekstasi, kita sebenernya ingin ada harapan di luar sana tapi harapan itu seringkali menyakiti si pengharap. Sama seperti ekstasi, baiknya hindari ekspektasi karena perlahan-lahan juga bisa membunuh psikismu hehe
Komentar
Posting Komentar